Ketua Bidang Fatwa
dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Fuad Zein mengatakan Islam tak
memperbolehkan seseorang merajah
tubuhnya. “ Wasyimah (tato) itu tidak boleh,”
Dalam situsnya, www.fatwatarjih.com , Majelis
Tarjih mengunggah tulisan ihwal hukum
seseorang menato tubuh. Dalam tulisan
berjudul Hukum Tato, Rajah, Air Tape, dan
Lain-lain yang diunggah pada Senin, 15
Agustus 2011, itu disebutkan tato adalah
perhiasan. Berdasarkan Al-Quran 18:7 dan
7:32 disimpulkan hukum tato adalah mubah.
Artinya, tak ada larangan ataupun anjuran.
Meski demikian, jika perbuatan merajah tubuh
itu membawa dampak negatif, hukum tato
menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan),
bahkan haram.
Fuad mengatakan Majelis Tarjih memang
pernah mengeluarkan fatwa tentang menato
tubuh. Dalam fatwa itu, kata dia, hukum tato
memang tak sampai pada tingkat haram.
“Tapi itu fatwa lama,” katanya. Hukum tato
muncul di situs itu merupakan fatwa yang
dikeluarkan sekitar tahun 2000. “Itu belum
diperbarui.”
Menurut dia, fatwa itu butuh perbaikan dan
pembaruan. Dalam mengkaji hukum perlu
pembahasan yang mendetail. Semisal,
apakah tato itu melekat di tubuh selamanya
(permanen) atau tidak. Atau, hingga pada
pembahasan apakah bahan tato berasal dari
bahan yang najis (penghalang seseorang
dalam beribadah). “Temporer atau tidak,”
katanya.
Menurut dia, tradisi merajah tubuh juga
dikenal oleh masyarakat Arab. “Digunakan
oleh pengantin,” katanya. Tato yang mereka
gunakan adalah rajah tak permanen.
Adapun masyarakat nusantara sejak lama
mengenal tato. Sebut saja suku Dayak Iban di
Kalimantan Barat. Seniman tato di
Yogyakarta, Herpianto Hendra, mengatakan
bagi Suku Iban, tato bukan sekadar merajah
tubuh. Motif dan penempatannya di tubuh
juga tak boleh sembarangan karena tato
memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Sebut saja satu contoh motif “bungai
terung”. Tato jenis ini biasa ditempatkan di
bahu. Hanya lelaki yang mempunyai tato ini
karena mereka dianggap memikul tanggung
jawab keluarga. “Ada beberapa versi model
tato orang Iban, tapi bentuk dasarnya tetap
sama,” katanya.
Lelaki asal Kalimantan itu pernah melakuskan
riset kecil untuk mendokumentasikan motif
dan makna tato Dayak Iban. Hasil karyanya
kini dipamerkan di Via-Via Kafe Yoyakarta
dalam pameran berjudul Tanah to Indai
Kitai (Tanah adalah Ibuk Kita) : Potret Dayak
Iban yang berlangsung pada 30 Maret-20
April 2014.
Ia mengatakan salah satu alasan
pendokumentasian bentuk tato itu adalah
karena tak banyak generasi muda suku Iban
yang kini merajah tubuhnya. Kalaupun ada,
tato itu biasa ditemukan di tubuh orang-
orang berusia tua. “Bagaimana kalau yang
tua-tua itu sudah tak ada lagi,” katanya, yang
khawatir budaya tato suku Iban akan
tergerus zaman.
Menurut dia, ada sejumlah alasan
memudarnya tato pada suku Iban. Di
antaranya, kedatangan agama baru; larangan
orang bertato tak bisa mendaftar sebagai
tentara, polisi, dan pegawai pemerintah; serta
anggapan buruk pada orang bertato.
“Khususnya pada masa Petrus (penembakan
misterius),” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar